Baleg Apresiasi Animo Kampus Dukung UU Bankum
Ketua Badan Legislasi - Baleg DPR RI Sarehwiyono menyampaikan apresiasi kepada kalangan kampus yang ingin terlibat langsung dalam memberikan bantuan hukum kepada masyarakat miskin yang tersangkut kasus hukum. Ia berharap kendala yang dihadapi saat ini tidak mengurangi semangat untuk mewujudkan keadilan bagi semua.
“Saya sangat mengapresiasi, hanya para hakim saat ini terikat pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) no.4/2009 yang menekankan siapapun yang memberikan pendampingan akan ditanya apakah sudah mempunyai surat izin beracara,” katanya dalam pertemuan di Kantor Gubernur Jateng, Semarang, Kamis (25/6/15).
Sebagai mantan Kepala Pengadilan Tinggi, politisi Fraksi Partai Gerindra ini mengaku sangat paham bagaimana suasana persidangan. Keinginan perguruan tinggi terutama mahasiswa dan dosen dari fakultas hukum untuk terlibat memberikan bantuan hukum sesuai UU no.16/2011 menurutnya patut dihargai.
Agenda pertemuan kali ini terselenggara dalam kunjungan kerja Baleg menyosialisasikan UU Bantuan Hukum (Bankum). Sementara itu anggota Baleg dari FPDIP Dwi Ria Latifa menambahkan UU Advokat juga tegas mengatur pengacara yang dapat terlibat langsung di persidangan harus sudah memiliki SK Advokat.
“Saya rasa pihak universitas pasti punya kemampuan untuk memberi bantuan hukum, tetapi kita tidak bisa menabrak UU Advokat. Alangkah lebih baik dibuat sistem alumni universitas yang sudah menjadi pengacara aktif ditarik kembali, dibuat program bagus jadi mahasiswa termasuk dosen bisa terlibat bersama mereka,” saran dia.
Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto menyambut baik masukan yang disampaikan sejumlah pihak dalam pertemuan tersebut. Disamping melakukan sosialisasi, kegiatan ini menurutnya juga dalam kerangka pengawasan, apakah sejumlah kebijakan yang ditetapkan di lapangan sudah sesuai dengan UU.
Ia juga menyoroti keluhan sejumlah Lembaga Bantuan Hukum yang baru menerima honor dari negara dalam kegiatan bantuan hukum cuma-cuma bagi warga miskin, setelah kasus memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). “Kalau memperhatikan UU pasal 18 dan PP pasal 22 seharusnya honor bisa diberikan pada setiap tingkatan peradilan,” tekannya.
Sebelumnya, Sahlan akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang mempertanyakan kebijakan hakim yang selalu menanyakan kartu izin beracara pada saat sidang. Menurutnya ini menghalangi kesempatan bagi mahasiswa dan dosen memberikan bantuan hukum terutama kepada warga miskin.
“Peradilan adalah laboratorium bagi kami yang ada di kampus, seharusnya mahasiswa dan dosen bisa diperhatikan, toh kasus ini bukan komersial tetapi cuma-cuma,” tutur dia. (iky) foto: ibnur/parle/hr